Thursday, July 30, 2009

Jaipong Diminta Diperhalus, Hilang Dong Ciri Khasnya!

Seniman tari Jawa Barat mempertanyakan komitmen Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan melestarikan kesenian Sunda. Hal ini terkait imbauan Gubernur agar seniman tari Jabar memperhalus tampilan tari jaipongan.

Menurut Koordinator Komunitas Peduli Jaipongan Jawa Barat (KPJJ), Mas Nanu Muda, Kamis (5/2), imbauan Gubernur dinilai tidak masuk akal. Memperhalus atau mengurangi ciri jaipongan sama dengan menghilangkan keindahan dan pesan tarian.

Bila harus dilarang atau ada anjuran mengurangi unsur tari jaipongan sama saja dengan menghilangkan warisan budaya agraris masyarakat Jawa Barat. Goyang, gitek, geol bukan perilaku pornografi. "Dari dulu ketiganya sudah menjadi ciri khas jaipongan," katanya.

Selain itu, dari sisi perlindungan hukum, Undang-Undang Pornografi yang masih menunggu pengesahan Presiden menyebutkan tari jaipongan tidak dilarang. Tarian jaipongan dikatakan merupakan bagian dari seni tradisi yang harus dilindungi kelestariannya.

Oleh karena itu, KPJJ akan melakukan aksi terkait hal ini. Aksi akan melibatkan seniman tari dari berbagai macam daerah di Jabar, seperti Bogor, Bandung, dan Subang. Tujuannya, memperlihatkan tari jaipongan sebagai warisan tradisi Sunda yang harus dilindungi keasliannya.

Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jabar Herdiawan menegaskan tidak ada bentuk pelarangan dari Gubernur terkait pementasan tari jaipongan. Gubernur hanya mengimbau para penari mengenakan pakaian lebih tertutup. Dikhawatirkan, bila disajikan dengan pakaian terlalu terbuka, hal itu akan menimbulkan polemik tentang pornografi di kalangan masyarakat.

Ditanya mengenai hilangnya keaslian bentuk dan tampilan tari jaipongan bila gerakannya diperhalus atau dikurangi, Herdiawan yakin itu tidak akan terjadi. Bukan tidak mungkin dengan gerakan yang lebih halus justru bisa membuat tarian jaipongan terlihat lebih indah dan pesannya mudah diterima masyarakat.

Cornelius Helmy Herlambang

Seni Tari Jawa Barat yang Ceria

Namun sebelum bentuk seni pertunjukkan itu muncul ada pengaruh yang melatar belakangi bentuk dari pergaulan tersebut. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukkan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan Ronggeng dan Pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan Ronggeng dalam seni pertunjukkan memilki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini popular sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukkan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur yang sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk dar goong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku dan kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.

Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogorar (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukkan Ketuk Tilu/Doper/Tayub), beralih perhatiannya pada seni pertunjukkan Kiliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Purwakarta, Bekasi, Indramayu dan Subang) dikenal dengan sebutan Kiliningar, Bajidoran yang pola ibingnya maupun peristiwa pertunjukkannya mempunyai kemiripan dengar kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, dimana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian Topeng Banjet ini. Secara koreografi tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) dimana terdapat gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.

Kemunculan tarian hasil karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi popular dengan sebutan Jaipongan.

Karya Jaipongan pertama yang dikenal oleh masyarakat adalah tari Daun Pufus Keser Bojong dan tari Rendeng Bojong, yang keduanya merupakan jenis tari putri dan berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali dan Pepen Dedi Kurnaedi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, dimana isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah Tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukkan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.

Kehadiran Tari Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggarap seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya Tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan dan dimanfaatkan pula oleh pengusaha-pengusaha Pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tan atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya kaleran.

Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas dan kesederhanaan (alami/apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukkannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada Seni jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya Kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini sebagai berikut:
  1. Tatalu.
  2. Kembang Gadung.
  3. Buah Kawung Gopar.
  4. Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (seorang Sinden tetapi tidak menyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih).
  5. Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukkan ketika para penonton (Bajidor) sawer uang (Jabanan) sambil salam temple. Istilah Jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).

Perkembangan selanjutnya dari Jaipongan terjadi pada tahun 1980-1990 an, dimana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Man gut, Iring-firing Daun Puring, Rawayan dan Tari Kawung Anten. Dari taritarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepi, Agah, Aa Suryabrata dan Asep Safaat.

Dewasa ini Tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas kesenian Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acaraacara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan Tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke mancanegara senantiasa dilengkapi dengan Tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukkan wayang, degung, genjring/terebangan. kacapi jaipong dan hampir semua pertunjukkan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.
srigemilang.web